Jumat, 15 November 2013

PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan,
sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku
telah dijodohkan dengan Raihana yang tak
pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah
teman karib ibu waktu nyantri di pesantren
Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.
“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak
berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena itu
ibu mohon keikhlasanmu” , ucap beliau
dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-
hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti
keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan
ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi
dihatinya, meskipun untuk itu aku harus
mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya
bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul
kecemasan-kecemasan yang datang begitu
saja dan tidak tahu alasannya.
Yang jelas aku sudah punya kriteria dan
impian tersendiri untuk calon istriku. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan
dengan air mata ibu yang amat kucintai.
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah
Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang
baby face dan anggun.
Namun garis-garis kecantikan yang
kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik,
“cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux
lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku
lain, mungkin karena aku begitu hanyut
dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra,
yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita,
dengan hidung melengkung indah, mata bulat
bening khas arab, dan bibir yang merah.
Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku
berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku
untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu
sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi
wajah teduhnya meluluhkanku. Hari
pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai
mayat hidup, hati hampa tanpa cinta,
Pestapun meriah dengan empat group
rebana.
Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-
nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum
manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan
jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku
adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas
baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir
li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk
mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar
karena aku seorang manusia yang terbiasa
membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku
menangisi kebohonganku dan kepura-
puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa
ke kontrakan dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak
menemukan adanya gairah. Betapa susah
hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan,
minum, tidur, dan shalat bersama dengan
makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi
Masya Allah bibit cintaku belum juga
tumbuh.
Suaranya yang lembut terasa hambar,
wajahnya yang teduh tetap terasa asing.
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup
bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini
muncul begitu saja. Aku mencoba membuang
jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada
istri sendiri yang seharusnya kusayang dan
kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain.
Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak
sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang
tamu atau ruang kerja.
Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar
di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia,
keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun
merasakan hal yang sama, karena ia orang
yang berpendidikan, maka diapun tanya,
tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak,
mungkin aku belum dewasa, mungkin masih
harus belajar berumah tangga” Ada
kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana
ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas
memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas
sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan
guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam”
jawabku sekenanya.
Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam
menunduk, tak lama kemudian dia terisak-
isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas
tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai
istri kenapa mas ucapkan akad nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih
ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak
bilang dan menegurnya, kenapa mas diam
saja, aku harus bersikap bagaimana untuk
membahagiakan mas, kumohon bukalah
sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi
pengabdianku, bagi menyempurnakan
ibadahku didunia ini”.
Raihana mengiba penuh pasrah. Aku
menangis menitikan air mata buka karena
Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari
terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak
berjalan. Kami hidup seperti orang asing
tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan
segalanya untukku.
Suatu sore aku pulang mengajar dan
kehujanan, sampai dirumah habis maghrib,
bibirku pucat, perutku belum kemasukkan
apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana
tadi pagi, Memang aku berangkat pagi
karena ada janji dengan teman. Raihana
memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak
apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir.
“Mas mandi dengan air panas saja, aku
sedang menggodoknya, lima menit lagi
mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua
pakaian yang basah. “Mas airnya sudah
siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah
katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku
lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah
berdiri didepan pintu membawa handuk.
“Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam
saja. Aku merasa mulas dan mual dalam
perutku tak bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi
dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit
pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan
ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau
masuk angin diobati pakai apa, pakai
balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya
Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas
jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu
apa yang harus kulakukan untuk membantu
Mas”.
” Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau
begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana
kerokin” sahut Raihana sambil tangannya
melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang
dimanja ibunya. Raihana dengan sabar
mengerokin punggungku dengan sentuhan
tangannya yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana
membawakanku semangkok bubur kacang
hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di
tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi
tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal
Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih
dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak
semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan
Cleopatra, ia mengundangku untuk makan
malam di istananya.” Aku punya keponakan
namanya Mona Zaki, nanti akan aku
perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra.
” Dia memintaku untuk mencarikannya
seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan
berniat memperkenalkannya denganmu”.
Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku
07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona
Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik
sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk
di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk,
tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah
empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana
membangunkanku. Aku terbangun dengan
perasaan kecewa.
” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang
suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih
Hana sambil melepas mukenanya, mungkin
dia baru selesai sholat malam. Meskipun
cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi
sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka
sama dia, dialah pemutus harapanku dan
mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah,
bukankah dia berbuat baik membangunkanku
untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama
Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya.
Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku
benar-benar terpenjara dalam suasana
konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana.
Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah
kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis
titisan Cleopatra.
” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah
Yu Imah. Semua keluarga akan datang
termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk,
kita datang bareng, tidak enak kalau kita
yang dieluk-elukan keluarga tidak datang”
Suara lembut Raihana menyadarkan
pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm.
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi
onde-onde kesukaanku dan segelas wedang
jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku
dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika
mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya,
lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan
aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf,
maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku
dengan suara parau tercekak dalam
tenggorokan.
” Ya Mas!” sahut Hana langsung
menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha
untuk tersenyum, agaknya ia bahagia
dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar.
“Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat
bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya
Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana
dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat
cerah, ada secercah senyum bersinar
dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti
senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar
dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang
memilihkan ya?”. Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa,
Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun
aku dingin dan acuh tak acuh padanya
selama ini. Aku belum pernah melihatnya
memasang wajah masam atau tidak suka
padaku. Kalau wajah sedihnya ya.
Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah,
lelaki macam apa aku ini, kutukku pada
diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku
sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi,
setetes embun cinta yang kuharapkan
membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan
aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang
yang paling membenci diriku sendiri di dunia
ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga
Fatimah kakak sulung Raihana membawa
sejarah baru lembaran pernikahan kami.
Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan
keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan
penuh bangga. ”
Selamat datang pengantin baru! Selamat
datang pasangan yang paling ideal dalam
keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk
tangan bahagia mertua dan bundaku serta
kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah.
Matanya berbinar-binar bahagia. Lain
dengan aku, dalam hatiku menangis disebut
pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan
Mesir dan Raihana lulusan terbaik
dikampusnya dan hafal Al Quran lantas
disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti
Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa
cinta yang sampai pada pengorbanan satu
sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi
memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa
cinta yang dari detik ke detik meneteskan
rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta
seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-
benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap
Raihana yang begitu kuat menjaga
kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku
dan semuanya tidak pernah diceritakan,
kecuali menyanjung kebaikanku sebagai
seorang suami yang dicintainya.
Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia
menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing
dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap
ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang
keturunan.
” Sudah satu tahun putra sulungku menikah,
koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal
aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku.
” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan
menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah
begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut
lenganku, aku tergagap dan mengangguk
sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap
bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-
pura kembali mesra dengannya, sebagai
suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura.
Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan
kehendakku sendiri aku melakukannya, ini
semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa.
Kepura-puraanku memuliakan Raihana
sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia
semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku
menangis karena cinta tak kunjung tiba.
Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah
cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih
sehingga Raihana yang sedang hamil tidak
kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku
bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku
hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah,
betapa sulit aku menemukan cinta”
gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia
kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam.
Raihana minta ijin untuk tinggal bersama
orang tuanya dengan alasan kesehatan.
Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan
dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh
dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku
tak menaruh curiga ketika aku harus tetap
tinggal dikontrakan.
Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas
untuk menambah biaya kelahiran anak kita,
tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di
ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya
sama dengan tanggal pernikahan kita”.
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku
sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu
dengan orang yang membuatku tidak
nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian.
Hanya saja aku sedikit repot, harus
menyiapkan segalanya.
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku
sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy
tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang
kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang,
aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku
muntah-muntah, menggigil, kepala pusing
dan perut mual.
Saat itu terlintas dihati andaikan ada
Raihana, dia pasti telah menyiapkan air
panas, bubur kacang hijau, membantu
mengobati masuk angin dengan mengeroki
punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan
menutupi tubuhku dengan selimut.
Malam itu aku benar-benar tersiksa dan
menderita. Aku terbangun jam enam pagi.
Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan
dalam hati, aku belum sholat Isya dan
terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak
meninggalkan sholat Isya, dan tidak
terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring
keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi
aku mendapat tugas dari universitas untuk
mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah
bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah
professor bahasa arab dari Mesir.
Aku jadi banyak berbincang dengan beliau
tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga
berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang
dosen bahasa arab dari Medan. Dia
menempuh S1-nya di Mesir. Dia
menceritakan satu pengalaman hidup yang
menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.
“Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak
Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ”
Dengan orang mana?. ” Orang Jawa”.
” Pasti orang yang baik ya. Iya kan?
Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara
yang menawarkan untuk menikah dengan
perempuan shalehah. Paling tidak santriwati,
lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.
“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal
Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak
sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku
melakukan langkah yang salah, seandainya
aku tidak menikah dengan orang Mesir itu,
tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.
” Bagaimana itu bisa terjadi?”. ”
Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-
cantik, dan karena terpesona dengan
kecantikanya saya menderita seperti ini.
Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal
dari seorang yang kaya, saya berangkat ke
Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya
bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang
Medan juga. Seiring dengan berjalannya
waktu, tahun pertama saya lulus dengan
predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi
pelajar dari Indonesia.
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena
prestasi saya, tuan rumah tempat saya
tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan
dengan anak gadisnya yang bernama
Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada
pandangan pertama saya jatuh cinta, saya
belum pernah melihat gadis secantuk itu.
Saya bersumpah tidak akan menikaha
dengan siapapun kecuali dia.
Ternyata perasaan saya tidak bertepuk
sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar
oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas,
akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu
atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya.
Saya memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-
teman yang memberi masukan begini, sama-
sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa
tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal
Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih
selamat dari pada dengan YAsmin yang
awam pengetahuan agamanya. Tetpai saya
tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya
yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih
dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di
hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya
kembali ke Medan, saya minta agar asset
yang di Mesir dijual untuk modal di
Indonesia. KAmi langsung membeli rumah
yang cukup mewah di kota Medan.
Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan
baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke
Mesir menengok orang tuanya. Aku masih
bisa memenuhi semua yang diinginkan
YAsmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup
semakin nambah, anak kami yang ketiga
lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah.
Saya minta YAsmin untuk berhemat. Tidak
setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin
tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan
Yasmin dan anak-anak terpenuhi.
Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk
modal. Dalam diri saya mulai muncul
penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-
teman alumni Mesir yang hidup dengan
tenang dan damai dengan istrinya. Bisa
mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah
dengan baik. Dicintai masyarakat.
Saya tidak mendapatkan apa yang mereka
dapatkan. Jika saya pengin rending, saya
harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu
dengan masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya
memanggil suaminya dengan namanya.
Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti
neraka. Puncak penderitaan saya dimulai
setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut,
saya minta YAsmin untuk menjual
perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia
malah membandingkan dirinya yang hidup
serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya
mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas
segalanya. Saya telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaan saya
yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka
menjual rumah dan tanah, yang akhirnya
mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit.
Batin saya menangis. Mereka berharap modal
itu cukup untuk merintis bisnis saya yang
bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin
mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.
Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang
menyakitkan. ” Aku menyesal menikah
dengan orang Indonesia, aku minta kau
ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali
dengan lelaki Mesir”.
Kata Yasmin yang bagaikan geledek
menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita
bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan
temannya. Teman lamanya itu sudah jadi
bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan
dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena
tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu
saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan
adalah tak satupun keluarganya yang
membelaku.
Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim
surat yang berisi berita bohong.
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua
bulan yang lalu saya mendapat surat cerai
dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat
nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya
sangat sakit, ketika si sulung menggigau
meminta ibunya pulang”.
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku
terisak-isak. Perjalanan hidupnya
menyadarkanku. Aku teringat Raihana.
Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak
terasa sudah dua bulan aku berpisah
dengannya.
Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap
dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak
pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar
adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya
karena kemurahan Allah aku mendapatkan
istri seperti dia.
Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi
wajah Raihana telah menyala didindingnya.
Apa yang sedang dilakukan Raihana
sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah
delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku
jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku
mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke
took baju muslim, aku ingin membelikannya
untuk Raihana, juga daster, dan pakaian
bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia
tersenyum menyambut kedatanganku. Aku
tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke
kontrakan untuk mengambil uang tabungan,
yang disimpan dibawah bantal. Dibawah
kasur itu kutemukan kertas Merah jambu.
Hatiku berdesir, darahku terkesiap.
Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum
pernah membuat surat cinta untuk istriku.
Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan
lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku
serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu
satu persatu. Dan ya Rabbiï ..ternyata surat-
surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang
selama ini aku zhalimi.
Ia menulis, betapa ia mati-matian
mencintaiku, meredam rindunya akan
belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan
nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya
Allah lah tempat ia meratap melabuhkan
dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia
memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.
Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati
dariku.
“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba
bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya
Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al
Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah
terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya
Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam
diri hamba” tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya
Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh
noda dan dosa kembali datang mengetuk
pintumu, melabuhkan derita jiwa ini
kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini
hamba-Mu ini hamil penuh derita dan
kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami
hamba tak mempedulikanku dan
menelantarkanku.
Masih kurang apa rasa cinta hamba
padanya. Masih kurang apa kesetiaanku
padanya. Masih kurang apa baktiku
padanya? Ya Allah, jika memang masih ada
yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu
ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada
suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon
jangan murkai dia karena kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita.
Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba
masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah
hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan
memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu
bahwa hamba sangat mencintainya karena-
Mu.
Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya
dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan
teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa
hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak
disembah kecuali Engkau, Maha Suci
Engkau”.
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku
terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa.
Tangisku meledak. Dalam tangisku semua
kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang
baby face dan teduh, pengorbanan dan
pengabdiannya yang tiada putusnya,
suaranya yang lembut, tanganya yang halus
bersimpuh memeluk kakiku, semuanya
terbayang mengalirkan perasaan haru dan
cinta.
Dalam keharuan terasa ada angina sejuk
yang turun dari langit dan merasuk dalam
jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah
memudar berganti cinta Raihana yang
datang di hati.
Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba
begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya
Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-
tiba begitu merindukannya. Segera kukejar
waktu untuk membagi Cintaku dengan
Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang
seiring dengan air mataku yang menetes
sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman
rumah mertua, nyaris tangisku meledak.
Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap
air mataku.
Melihat kedatanganku, ibu mertuaku
memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku
jadi heran dan ikut menangis. ” Mana
Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis
dan menangis. Aku terus bertanya apa
sebenarnya yang telah terjadi.
” Raihanaï…istrimu. .istrimu dan anakmu
yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”.
” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”.
”Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu.
Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan
bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal,
dia berpesan untuk memintakan maaf atas
segala kekurangan dan kekhilafannya selama
menyertaimu.
Dia meminta maaf karena tidak bisa
membuatmu bahagia. Dia meminta maaf
telah dengan tidak sengaja membuatmu
menderita. Dia minta kau meridhoinya” .
Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak
memberi kabar padaku?”. ”
Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku
telah mengutus seseorang untuk
menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu
tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya
kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak
ingin mengganggumu. Apalagi Raihana
berpesan agar kami tidak mengganggu
ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika
Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi
Maafkanlah kami”.
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu.
Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta
Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin
menebus dosaku, dia telah meninggalkanku.
Ketika aku ingin memuliakannya dia telah
tiada.
Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi
kesempatan padaku untuk sekedar minta
maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah
menghukumku dengan penyesalan dan
perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan
tanah yang masih baru dikuburan pinggir
desa. Diatas gundukan itu ada dua buah
batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana
tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa
cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar
biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali.
Dunia tiba-tiba gelap semua ……..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...